Larangan Caleg Mantan Napi Korupsi (Affirmative Action – Sebuah Langkah Profetik)

10.jpg

 

 

 

Oleh : Hendra Kasim

Dosen FH UMMU / Advokat & Legal Consultant

 

Dissent is the mark of freedom” (Perbedaan pendapat adalah tanda kebebasan)               — Jacob Bronowski

Wacana larangan mantan nara pidana (napi) koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislative menjadi polemik yang menyebabkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai pencalonan anggota legislative belum disahkan hingga kini.

Dialektika mengenai wacana tersebut terbangun diatas basis argumentasi yang saling berkelindan antara pihak pro maupun kontra. Gagasan mengenai setuju atau tidak setuju larangan mantan napi koruptor sebagai calon anggota legislative terbelah dua. Seperti halnya perdebatan pada wacana-wacana yang lain, sudah tentu pro kontra menjadi warna yang membuat menarik perdebatan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, perbedaan pendapat juga mengemuka antara Presiden dengan Wakil Presiden.

Benturan Constitusional

Salah satu alasan pendapat yang tidak setuju dengan larangan mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislative adalah mengenai human right sebagai hak konstitusional setiap warga negara.

Setiap warga negara yang hidup didalam negara konstitusional dikehendaki segala bentuk hak asasi setiap warga negara terpenuhi. Konsekuesni logis dari ketentuan tersebut adalah segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu, Pilpres dan Pilkada,  khususnya mengatur tentang hak dipilih dan memilih warga negara, seharusnya mendapatkan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak konstitusionalnya. Sebab dipahami dalam negara konstitusional, pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Human right sejatinya tidak hanya menjadi kehendak negara konstitusional, namun telah menjadi kehendak dunia internasional. Pasal 25 International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) menyebutkan bahwa:

“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan”.

Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak politik, memilih dan di pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara.

Aroma Undang-Undang

Selain dasar argumentasi constitutional right, pendapat kedua yang menjadi alibi menolak larangan mantan napi koruptor menjadi calon anggota legislative adalah syarat menjadi anggota legislative yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Secara rigit ketentuan dalam UU Pemilu memang tidak ada satu Pasal maupun ayat yang mengatur mengenai larangan mantan napi koruptor sebagai calon anggota legislative. Satu-satunya ketentuan mengenai status hukum seorang calon anggota legislative adalah syarat menjadi calon anggota legislative diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menyebutkan bahwa:

“tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”

Atas ketentuan yuridis diatas, kelompok yang tidak setuju dengan wacana tersebut menyampaikan keberatan atas ketentuan yang hendak membatasi atau menghilangkan hak politik warga negara khususnya mantan napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.

Extra Ordinary Crime

Dari dialektika larangan mantan napi koruptor nyaleg, fakta bahwa seperti halnya kejahatan narkoba dan terorisme, korupsi termasuk dalam kategori extra ordinary crime tidak dapat dibantah.

Menangani kejahatan yang extra ordinary tidak dapat ditempuh dengan cara-cara yang klasik sebagaimana keadaan normal. Kejahatan extra ordinary secara sosiologis meyerang tidak hanya substansi hukum namun juga struktur hukum. Serangan kejahatan luar biasa ini tidak main-main, bukan hanya merusak namun menyiapkan kader didalam struktur hukum dan pemerintahan yang tiap saat bersedia melayani syahwat rakus para pelaku kejahatan tersebut.

Diperlukan cara-cara “diluar batas normal” dalam menangani kejahatan luar biasa. Ibarat mobil ambulans, penegakan hukum dalam kejahatan extra ordinary sepatutnya dapat begerak bebas tanpa hambatan bahkan pada arena trafick light sekalipun. Gagasan diluar doktrin positifisme dibutuhka sebagai alternative ideas dalam upaya melawan extra ordinary crime.

Gagasan Profetik

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa perang melawan extra ordinary membutuhkan cara-cara diluar batas positifisme hukum. Yang dalam kesempatan ini penulis hendak mengajukan moral hukum sebagai salah satu alternnatif landasan pergerakan hukum dalam peranng melawan kejahatan luar biasa.

H.L.A Hart mengajukan sebuah tesis mengenai adanya pemisahan antara hukum dan moralitas. Namun menurutnya, pemisahan tersebut tidak ekstrim. Selain karena moralitas merupakan “syarat minuman” dari hukum yang harus ada, dalam berkehidupan sosial, moral merupakan satu hal yang tak terpisahkan.

Sekalipun Hart seperti halnya Austin merupakan ahli hukum yang  menganut filsafat hukum positifisme, Hart coba mengatasi kekauan dalam positifisme hukum dengan menempatkan moralitas sebagai syarat “minimum hukum”.

Keterpisahan moralitas dengan moral dalam doktrin positifisme hukum memang dapat dipahami karena legal positivism lahir ditengah peradaban barat yang cenderung liberal.

Sebagai anti tesa dari paham legal positivism dan menguatkan argumentasi tawaran moral hukum sebagai syarat minimum hukum penulis ajukan gagasan hukum profetik.

Mendengar wacana hukum profetik akan terbesik pikiran mengenai Islam. Sebagaimana Kuntowijoyo dalam melihat Islam sebagai Ilmu, menempatkan kuatnya etika ketuhanan sebagai basis epistimologi keilmuan dalam Islam.

Syamsudin dalam bukunya Ilmu Hukum Profetik (Gagasan Awal, Landasan Kefilsafatan dan Kemungkinan Pengembangannya di Era Pos Modernis) menulis bahwa dalam perumusannya, Ilmu Hukum Profetik dalam Ilmu Hukum, baik secara paradigmatik, asumsi-asumsi, prinsip-prinsip, teori, metodologi, maupun struktur norma-norma yang terdapat di dalamnya, dibangun berdasarkan basis epistemologi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, yaitu melalui proses transformasi dan aktivasi ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits yang dibangun di atasnya asumsi-asumsi dasar yang kemudian turun menjadi teori, doktrin, asas-asas, kaidah, dan norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Hukum profetik sebagai gagasan alternative yang berlandaskan pada epistimologi al-qur’an berdiri atas paham moralitas. Moral menjadi padanan utama dalam mengkonstruk sistem hukum. Nilai moral menjadi standar dalam mengukur kehidupan bernegara. Pada perspektif ini, gagasan membatasi mantan napi koruptor menjadi calon anggota legislative ditambah praktik koruptor yang semakin menjadi-jadi rasa-rasanya menjadi alternative gagasan yang tepat dalam agenda perlawanan common enemy bangsa yakni pemberantasan korupsi.

Pembatasan Constitutional

Apakah hak-hak konnstitsuional warga negara tidak dapat dibatasi ? dalam negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang konstitusional seperti halnya Indonesia, menegakkan human right bukanlah sesuatu yang bersifat absolut dan mutlak, sangat dimungkinkan adanya ruang pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Membaca ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan tersebut hanya bisa dilakukan melalui media peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembatasan dimungkinkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan tersebutlah yang dipahami sebagai constitutional bersyarat.

Bukan Hal Baru

Pasal 60 huruf j PKPU No. 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah menyebutkan bahwa salah satu syarat menjadi anggota DPD adalah “bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.

Kenyataannya larangan mantan napi koruptor sebagai anggota parlemen bukanlah hal baru. Ketentuan mengenai larangan tersebut telah diatur dalam PKPU No. 14 Tahun 2018 secara jelas dan vulgar. Pengaturan tersebut tidak mengalami perdebatan yang alot namun adem-adem saja bahkan sepi media. Mengapa demikian ? dalam pandangan penulis mungkin karena tarik menarik kepentingan politik tidak mengemuka saat konsultasi KPU ke DPR terkait ketentuan tersebut karena ekses dari terbatasnya kewenangan konstitusional DPD dalam hal legislasi. Olehnya itu, agak aneh dan menggelitik ketika hari ini wacana larangan mantan koruptor menjadi calon anggota legislative diperhadapkan dengan polemik hingga hari ini.

“Serahkan Bola” Kepada Mahkamah Agung

Terlepas dari argumentasi mengenai disetuji gagasan larangan mantan napi koruptor nyaleg, KPU sebagai lembaga yang mandiri dan independent hendaknya dijaga dari bentuk interfensi apapun dan dari manapun.

Lebih dari itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu mendapatkan atribusi kewenangan dari UU Pemilu untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu dalam bentuk PKPU.  Sebagaimana diatur dalam UU Pemilu Pasal 12 huruf c, Pasal 13 huruf b, dan Pasal 167 ayat (8) yang menyebutkan bahwa

Pasal 12 huruf c : menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu

Pasal 13 huruf b : “Menetapkan peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu

Pasal 167 ayat (8) : “Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan Penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemungutan suara sebagaimana dimaksud padal ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan peraturan KPU

Salah satu kewenangan KPU sebagaimana disebutkan diatas merupakan legitimasi yuridis bagi KPU dalam membuat peraturan tekhnis dalam pelaksanaan pemilu tidak terkecuali larangan mantan napi korupsi sebagai calon anggota legislative.

Pandangan yang tidak sependapat dengan gagasan tersebut dan menilai bahwa larangan yang menjadi wacana perdebatan bertentangan dengan UU Pemilu adalah pendapat yang sah-sah saja. Akan tetapi, dalam bernegara hukum, “bola” dalam perdebatan ini jika PKPU tersebut telah disahkan, hendaknya diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menilai apakah PKPU bertentangan atau tidak dengan UU Pemilu. Demikianlah cara kerja dalam bernegara hukum.

Tidak perlu dijegal dengan ancaman tidak akan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) karena nyatanya ketentuan serupa dalam pencalonan anggota DPD diterima tanpa perdebatan dan diundangkan tanpa pertimbangan oleh Menkumham.

Closing Statemen

Imanuel Kant Filsuf Jerman pernah mengemukakan “Zwei Dinge erfüllen das Gemüt mit immer neuer und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, der bestirnte Himmel über mir, und das moralische Gesetz in mir”. (Dua hal yang membangkitkan ketakjuban saya: langit bertaburkan bintang di atas dan hukum moral di dalam diri saya).

Dalam sistem rekrutmen, hingga hari ini penulis yakin bahwa bibit yang diseleksi jika sedari awal adalah bibit yang busuk maka akan menghasilkan hasil yang busuk pula. Namun, jika bibit yang diseleksi adalah bibit yang baik maka dipastikan akan menghasilkan hasil yang baik. Oleh sebab itu, proses seleksi yang baik bukanlah proses yang melewati lika-liku yang selektif, namun proses yang baik adalah proses yang sedari awal diikuti oleh peserta seleksi yang baik pula.

Tinggalkan komentar